Jumat, 30 Desember 2011

Hafalan Shalat Delisa

Diposting oleh Riri Kurniasari di 08.02 0 komentar
Di Aceh, tepatnya Lok Nga, ada sebuah keluarga kecil yang sederhana, terdiri dari abi Usman, ummi Salamah, cut Fatimah, cut Aisyah dan cut Zahra (yang kembar tapi bagaikan bumi dan langit) dan si bungsu Delisa. Delisa yang masih berusia 6 tahun akan ikut ujian hafalan shalat. Jika berhasil, ummi menjanjikan kalung untuknya, berbandul huruf D; D untuk Delisa yang dibeli di toko koh Acan. Abi juga berjanji lewat telepon, karena abi bekerja di perusahan minyak Asing, bagian perbaikan kapal dan hanya pulang tiga bulan sekali, membelikan sepeda baru untuk Delisa. Semangat Delisa kian hari kian besar, selalu berseru 'D untuk Delisa' yan membuat cut Aisyah iri. Ummi Salamah yang bijaksana akhirnya berinisiatif untuk membelikan bandul untuk semuanya, 'A untuk Aisyah; Z untuk Zahra; dan F untuk Fatimah. Hari hari Delisa diwarnai berbagai hal, mengaji di meunasah, belajar sepeda bersama Tiur, dan main sepak bola bersama kawan kawan Umam. *** 24 Desember 2004 itu.!! Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukan tertukar, BUKAN.!! Tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Ummi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa. Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusyuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya. "Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu.Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar, tetap khusuk." Delisa pelan menyebut "ta'awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah". Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. "Allahu Akbar". Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat. Mengirimkan pertanda kelam menakutkan. Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti", lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik. Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu. Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"! "Innashalati, wanusuki, wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti..." Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking? Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusyuk, ya Allah... Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras ... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi. Delisa ingin khusyuk. "Allahu-ak-bar" Delisa sujud, belum sempat membaca bacaan sujudnya, tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa tetap tak bergeming, berusaha melanjutkan bacaan shalatnya. Namun, ombak tsunami itu sudah terlebih dulu menyeretnya. Delisa berusaha bernapas, ia tak bisa berenang. Pasrah. Ibu guru Nur melepas kerudung sobeknya, mengikat Delisa yang sudah pingsan keatas sebuah papan kecil, diikat sekuat mungkin. Menghela napas, mulai melepas perlahan papan kecil itu, membiarkan papan itu membawa Delisa, menghela napas penuh arti, 'kau harus menyelesaikannya, sayaang.." Ibu guru Nur siap menjemput syahid-nya. *** Seminggu berlalu, Delisa ditemukan salah seorang prajurit marinir AS, prajurit Smith. Prajurit Smith menapat nanar Delisa, ya Allah, bahkan Delisa lebih mengenaskan dari mayat Tiur yang hanya berjarak beberapa meter dari Delisa. Delisa tersangkut disemak belukar yang sedang berbunga, bunganya putih kecil kecil. Indah. *** Delisa sadar, mengerjap-ngerjapkan matanya. Silau. Matanya menatap nanar lampu diatasnya. Menatap ibu ibu disamping ranjangnya, berkata pelan, "di-ma-na.?" Suster Sophi bergegas ke kamar Delisa, tersenyum bersama dokter Eli. Memeriksa keadaan Delisa. Bercerita banyak hal. Delisa tersenyum. Saat Sophi bercerita, ia ingat. Ia keluar sebentar mengambil kertas formulir. Memberikan kepada Delisa. Delisa ingat, kak Fatimah pernah bercerita, kertas itu harus diisi sesuai dengan hoby, cita cita, nama orang tua, warna kesukaan,dan lainnya. Delisa menulis Kak Fatimah, Kak Aisyah dan kak Zahra, ummi, abi(walau yang ditulis ya umi dan abi), Tiur, dan lainnya. (Oh ya, prajurit Smith menjadi mu'alaf dan berganti nama menjadi Salam.) Salam sebenarnya ingin mengadopsi Delisa jika memang sudah tak memiliki orang yang ia sayangi, tapi, itulah manfaat formulir itu,abi datang menemui Delisa. Delisa berseru senang "abii.." Delisa bercerita banyak hal 'abi, gigi..gigi Delisa copot dua bii.. Kaki Delisa dipotong bii... Abiii.. maaf ya bi, Delisa menyesal tak belajar berenang dengan abi." Abi tersentuh. "Oh ya bi, umi mana.?" abi menggeleng, "Kak Fatimah.? kak Aisyah.? kak Zahra.?" bagai panah yang menancap masuk ke dalam hati, abi menggeleng pasrah, "umi belum ditemukan, kak Fatimah, kak Aisyah dan kak Zahra sudah meninggal." Delisa sedih, mendengar kata kematian. Langsung banting setir pembicaraan. 3 minggu Delisa dirawat di Kapal Induk, Delisa diijinkan pulang. Tinggal beberapa saat di tenda darurat. Lalu tinggal di rumahnya yang baru dibangun, sederhana. *** Setiap minggu Delisa ke pemakaman massal, membuat nisan untuk ketiga kakaknya, lalu meletakkan mawar itu. Ia mengadu banyak hal, tentang cokelatnya, tentang kesehariannya, tentang sekolah barunya, pokoknya segala hal. Delisa juga bercerita, bahwa ia belum bisa manghafal hafalan shalatnya,padahal ia selalu berusaha menghafal. Minggu itu Delisa bertemu Umam, Delisa membagi cokelat yang baru diberi suster Sophi. Umam menggigit cokelatnya, abi Umam berlari lari kecil mendekat ke arah mereka. "Umam, ummi ketemu nak. Ayo pulang." Umam pulang meninggalkan Delisa sendiri. Delisa mengutuk semuanya. Semua tidak benar, kata Ibu Guru Nur, Ustad Rahman, Abi, Umi, semuanya salah. Bukankah selama ini Delisa selalu sabar.? sedangkan Umam, Umam sering mengganggu Delisa, melemparinya pasir. Lalu mengapa bukan Delisa yang dapat umminya.? Delisa jatuh, kurknya menimpa kepalanya. *** Delisa benci semuanya, Delisa benci ustad Rahman, Delisa benci ibu guru Nur, semua bohong. Delisa seketika jatuh sakit. Suhu badannya panas sekali. Abi panik, langsung membawa ke rumah sakit darurat.saat tidur tenang, mimpi itu datang. Mimpi terakhirnya. Mimpi yang membuka hatinya. Hati yang sebelumnya benci semuanya, perlahan jatuh menunduk. 'Ya Allah, Delisa jahat.Delisa lebih jahat ketimbang umam. Delisa berani bohongin perintahMu hanya demi seuntai kalung, hanya demi sepada. Delisa menangis. Tidak,sekarang Delisa hanya inginshalat khusyuk untuk mendo'akan ummi, ketiga kakaknya, semuanya. *** Delisa pulang,pulang kerumah. Ada pesta kecil dirumahnya. Banyak manisan, yang beda dari pesta perkawinan hanya uang receh yang dilempar. Salah satu kakak kakak relawan memberi Delisa sebuah Delisa hadiah. Semua bersorak 'Bukaa..bukaa..bukaa.." Delisa segera membukanya, ternyata isinya kaki palsu dari dokter Eli, baru datang tadi pagi. Kakak kakak relawan memasangnya. Delisa senang. Dan mulai saat itu, hafalan shalatnya seperti berbicara kepadanya. Delisa mudah sekali menghafalnya. Sabtu sore, 21 Mei 2005 kak Ubai mengajak Delisa dan kawan kawan pergi ke bukit Lok Nga. Di sana kak Ubai mengajak anak anak menggurat 'ummi' mereka masing masing di atas pasir yang ditaruh di ember plastik. Lalu shalat ashar berjama'ah. Delisa membaca bacaan shalatnya sempurna.! tidak terbolah balik seperti biasa. Delisa menangis menyadari itu. Bahagia. Melanjutkan menggurat wajah ummi. Setelah pukul lima, semua berkemas. Delisa minta ijin mencuci tangan di sungai kecil. Saat membasuh mukanya, ada burung belibis terbang tepat diatas kepala Delisa. Saat mengikuti arah terbang burung Belibis itu, Delisa menangkap sosok tulang putih, semprurna kerangka manusia, ada kalung berbandul huruf D ditangannya, Delisa ingat; D untuk Delisa. Delisa mendekat, Berseru tertahaan, "Ummmmiiiiiii.." Seribu malaikat bertasbih memujiNya. Lantas berputar putarmengelilingi Lok Nga. Kembali ke Arasy-Nya. Urusan ini sudah selesai. daftar pustaka : Liye, Tere. 2010. Hafalan Shalat Delisa. Jakarta: Penerbit Republika. Ulfa, Ummu Mumfaridoh (2010) NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM NOVEL HAFALAN SHALAT DELISA KARYA TERE-LIYE. Skripsi thesis, Univerversitas Muhammadiyah Surakarta.
 

Inspiration of future Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos